ANALISA KASUS
oleh
Yongky Putut Angkianata
Fakultas Hukum 2011-Univeritas Brawijaya
A.
PARA
PIHAK
1.
Penggugat
Karaha
Bodas Company (KBC)
2.
Tergugat
a) Pertamina
b) Pembangkit
Listrik Negara (PLN)
B.
POSISI
KASUS
1. Ada
dua kontrak mengenai Proyek PLTP Karaha yaitu proyek pengembangan listrik panas
bumi 400 mega waatt yang ditandatangani pada 28 November 1998 dalam bentuk dua
kontrak.
a) Joint Operation Contract
antara Karaha Bodas Company dengan
Pertamina.
b) Energy Sales Contract antara
Pertamina, Karaha Bodas Company
dengan PLN yang akan bertindak sebagai pembeli tenaga listrik yang dihasilkan.
2. Karena
terjadi krisis ekonomi di Indonesia Proyek PLTP Karaha ditangguhkan melalui
Keputusan Presiden Nomor 39/1997. Pihak Pertamina menghentikan kegiatan
yang berhubungan dengan Proyek
PLTP Karaha sebelum ada keputusan dari Pemerintah Indonesia yang menerangkan
untuk meneruskan kembali proyek tersebut. Sampai pada akhirnya pada tanggal 22
Maret 2002 melalui Keppres Nomor 15/2002 proyek dilanjutkan.
3. Tindakan
yang dilakukan oleh pertamina dalam kontrak yang dilakukan dengan Karaha Bodas Company di sebabkan karena
adanya daya paksa atau forje majeure akibat
adanya Kebijakan Pemerintah dalam bentuk Keputusan Presiden yang menerangkan
bahwa untuk sementara Proyek PLTP Karaha ditangguhkan.
4. Pada
April 1998, Karaha Bodas Company
menggugat Pertamina melalui Arbitrase Internasional di Swiss, karena Karaha Bodas Company tidak peduli dengan
alasan yang menkadi dasar ditangguhkanya Proyek PLTP Karaha yang sebelumnya
telah ditandatangai kedua belah pihak dalam suatu kontrak.
C.
UPAYA
PENYELESAIAN
1. Tahun
2000, Arbitrase International Swiss mengabulkan gugatan Karaha Bodas Company dengan menghukum Pertamina membayar ganti rugi
US$ 111,1 Juta untuk kerugian Pengeluaran dan US$ 150 Juta untuk kerugian
keuntungan (lost of profi) ditambah
bungan 4% per tahun sejak 1 Januari 2001.
2. Karaha Bodas Company mengguggat
untuk pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional Swiss untuk asset Pertamina
yang ada di New York, Texas, Hong Kong dan Kanada melalui pengadilan di
negara-negara tersebut untuk mebekukan asset Pertamina.
3. Pertamina
mengajukan upaya hukum di Indonesia untuk membatalkan pelaksanaan putusan
Arbitrase Internasional. Pada 27 Agustus 2002 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
mengabulkan permohonan Pertamina untuk menolak pelaksanaan putusan Arbitrase
Internasional Swiss.
K O M E N T A R
Menurut pendapat saya, tindakan
penangguhan Proyek PLTP Karaha oleh Pertamina seharusnya mendapat kesepakatan
dari Karaha Bodas Company. Tindakan
Pertamina telah menyalahi kesepakatan dari para pihak, karena pertamina telah
memutuskan sepihak untuk menangguhkan tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu
dengan Karaha Bodas Company. Pemerintah Indonesia menangguhkan proyek PLTP
Karaha antara Pertamina dengan Karaha
Bodas Company melalui keputusan presiden dengan alasan bahwa terjadi krisis
ekonomi di Indonesia. Seharusnya pertamina tetap melaksanakan kewajibanya tanpa
dilatar belakangi masalah apapun yang ada di Indonesia, karena itu merupakan
kewajiban Pertamina dalam kontrak yang telah ditandatangani. Proyek tersebut
dapat ditangguhkan secara sah, apabila telah ada kata sepakat dari para pihak
bahwa proyek tersebut ditangguhkan untuk sementara.
Menurut Pendapat Saya, seharusnya
yang mengajukan tindakan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional Swiss
adalah Karaha Bodas Company (KBC),
bukan Pertamina. Tindakan yang seharusnya dilakukan Pertamina adalah mengajukan
“Permohonan Pembatalan Putusan” di Arbitrase Internasinal Swiss, tempat dimana
sengketa tersebut diputus. Bukan mengajukan gugatan Penolakan Putusan Arbitrase
Internasional Swiss di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Indonesia). Yang berhak
melakukan Putusan Pembatalan adalah Arbitrase Internasional Swiss sendiri,
sebagai lembaga yang dipilih para pihak untuk memutus perkara tersebut.
Kemudian Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat memutus bahwa “menolak pelaksanaan putusan
arbitrase internasional swiss”. Dengan dasar hukum, Pasal 66 huruf D
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999. Pasal tersebut menerangkan
bahwa Putusan Arbitrase Internasional
hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik
Indonesia, apabila memenuhi syarat “Putusan Arbitrase Internasional dapat
dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuator dari Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat”. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya berwenang menangani
masalah pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional, bukan berwenang melakukan
Pembatalan terhadap Putusan Arbitrase Internasional. Yang berhak melakukan
“Pembatalan Putusan” adalah Arbitrase Internasional itu sendiri. Apabila PN
Jakarta Pusat memutus diluar atau
melebihi dari kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang maka putusan
tersebut dapat dibatalkan.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang “menolak pelaksanaan putusan
arbitrase internasional swiss” hanya berlaku bagi asset pertamina yang ada di
Indonesia saja. Putusan PN Jakarta Pusat tersebut, tidak dapat di
generalisasi-kan terhadap asset Pertamina yang ada diluar negeri (diluar
Indonesia) antara lain di Negara New York, Texas, Hong Kong dan Kanada. Yang
berhak memutus Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Negara-negara
tersebut (New York, Texas, Hong Kong dan Kanada) adalah Pengadilan yang diberi
kewenangan yang ada dimana asset Pertamina berada. PN PN Jakarta Pusat tidak
berwenang menolak putusan Arbitrase Internasional yang dilaksanakan di negara
New York, Texas, Hong Kong dan Kanada karena asset teresbut berada di luar
wilayah hukum Indonesia dan aturan mengenai pelaksanaan putusan arbitrase
internasional yang digunakan adalah aturan yang berlaku di negara masing-masing
tersebut.
ANALISA KASUS
A.
PARA
PIHAK
1.
Penggugat
Karaha
Bodas Company (KBC)
2.
Tergugat
a) Pertamina
b) Pembangkit
Listrik Negara (PLN)
B.
POSISI
KASUS
1. Ada
dua kontrak mengenai Proyek PLTP Karaha yaitu proyek pengembangan listrik panas
bumi 400 mega waatt yang ditandatangani pada 28 November 1998 dalam bentuk dua
kontrak.
a) Joint Operation Contract
antara Karaha Bodas Company dengan
Pertamina.
b) Energy Sales Contract antara
Pertamina, Karaha Bodas Company
dengan PLN yang akan bertindak sebagai pembeli tenaga listrik yang dihasilkan.
2. Karena
terjadi krisis ekonomi di Indonesia Proyek PLTP Karaha ditangguhkan melalui
Keputusan Presiden Nomor 39/1997. Pihak Pertamina menghentikan kegiatan
yang berhubungan dengan Proyek
PLTP Karaha sebelum ada keputusan dari Pemerintah Indonesia yang menerangkan
untuk meneruskan kembali proyek tersebut. Sampai pada akhirnya pada tanggal 22
Maret 2002 melalui Keppres Nomor 15/2002 proyek dilanjutkan.
3. Tindakan
yang dilakukan oleh pertamina dalam kontrak yang dilakukan dengan Karaha Bodas Company di sebabkan karena
adanya daya paksa atau forje majeure akibat
adanya Kebijakan Pemerintah dalam bentuk Keputusan Presiden yang menerangkan
bahwa untuk sementara Proyek PLTP Karaha ditangguhkan.
4. Pada
April 1998, Karaha Bodas Company
menggugat Pertamina melalui Arbitrase Internasional di Swiss, karena Karaha Bodas Company tidak peduli dengan
alasan yang menkadi dasar ditangguhkanya Proyek PLTP Karaha yang sebelumnya
telah ditandatangai kedua belah pihak dalam suatu kontrak.
C.
UPAYA
PENYELESAIAN
1. Tahun
2000, Arbitrase International Swiss mengabulkan gugatan Karaha Bodas Company dengan menghukum Pertamina membayar ganti rugi
US$ 111,1 Juta untuk kerugian Pengeluaran dan US$ 150 Juta untuk kerugian
keuntungan (lost of profi) ditambah
bungan 4% per tahun sejak 1 Januari 2001.
2. Karaha Bodas Company mengguggat
untuk pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional Swiss untuk asset Pertamina
yang ada di New York, Texas, Hong Kong dan Kanada melalui pengadilan di
negara-negara tersebut untuk mebekukan asset Pertamina.
3. Pertamina
mengajukan upaya hukum di Indonesia untuk membatalkan pelaksanaan putusan
Arbitrase Internasional. Pada 27 Agustus 2002 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
mengabulkan permohonan Pertamina untuk menolak pelaksanaan putusan Arbitrase
Internasional Swiss.
K O M E N T A R
Menurut pendapat saya, tindakan
penangguhan Proyek PLTP Karaha oleh Pertamina seharusnya mendapat kesepakatan
dari Karaha Bodas Company. Tindakan
Pertamina telah menyalahi kesepakatan dari para pihak, karena pertamina telah
memutuskan sepihak untuk menangguhkan tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu
dengan Karaha Bodas Company. Pemerintah Indonesia menangguhkan proyek PLTP
Karaha antara Pertamina dengan Karaha
Bodas Company melalui keputusan presiden dengan alasan bahwa terjadi krisis
ekonomi di Indonesia. Seharusnya pertamina tetap melaksanakan kewajibanya tanpa
dilatar belakangi masalah apapun yang ada di Indonesia, karena itu merupakan
kewajiban Pertamina dalam kontrak yang telah ditandatangani. Proyek tersebut
dapat ditangguhkan secara sah, apabila telah ada kata sepakat dari para pihak
bahwa proyek tersebut ditangguhkan untuk sementara.
Menurut Pendapat Saya, seharusnya
yang mengajukan tindakan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional Swiss
adalah Karaha Bodas Company (KBC),
bukan Pertamina. Tindakan yang seharusnya dilakukan Pertamina adalah mengajukan
“Permohonan Pembatalan Putusan” di Arbitrase Internasinal Swiss, tempat dimana
sengketa tersebut diputus. Bukan mengajukan gugatan Penolakan Putusan Arbitrase
Internasional Swiss di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Indonesia). Yang berhak
melakukan Putusan Pembatalan adalah Arbitrase Internasional Swiss sendiri,
sebagai lembaga yang dipilih para pihak untuk memutus perkara tersebut.
Kemudian Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat memutus bahwa “menolak pelaksanaan putusan
arbitrase internasional swiss”. Dengan dasar hukum, Pasal 66 huruf D
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999. Pasal tersebut menerangkan
bahwa Putusan Arbitrase Internasional
hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik
Indonesia, apabila memenuhi syarat “Putusan Arbitrase Internasional dapat
dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuator dari Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat”. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya berwenang menangani
masalah pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional, bukan berwenang melakukan
Pembatalan terhadap Putusan Arbitrase Internasional. Yang berhak melakukan
“Pembatalan Putusan” adalah Arbitrase Internasional itu sendiri. Apabila PN
Jakarta Pusat memutus diluar atau
melebihi dari kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang maka putusan
tersebut dapat dibatalkan.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang “menolak pelaksanaan putusan
arbitrase internasional swiss” hanya berlaku bagi asset pertamina yang ada di
Indonesia saja. Putusan PN Jakarta Pusat tersebut, tidak dapat di
generalisasi-kan terhadap asset Pertamina yang ada diluar negeri (diluar
Indonesia) antara lain di Negara New York, Texas, Hong Kong dan Kanada. Yang
berhak memutus Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Negara-negara
tersebut (New York, Texas, Hong Kong dan Kanada) adalah Pengadilan yang diberi
kewenangan yang ada dimana asset Pertamina berada. PN PN Jakarta Pusat tidak
berwenang menolak putusan Arbitrase Internasional yang dilaksanakan di negara
New York, Texas, Hong Kong dan Kanada karena asset teresbut berada di luar
wilayah hukum Indonesia dan aturan mengenai pelaksanaan putusan arbitrase
internasional yang digunakan adalah aturan yang berlaku di negara masing-masing
tersebut.
Thanks for info, jangan lupa kunjungi website kami https://bit.ly/2Su7gVx
BalasHapus