SOSIOLOGI HUKUM
NAMA :
YONGKY PUTUT ANGKIANATA
NIM :
115010107113036
FAKULTAS HUKUM – UB
KEDIRI
Gejala Sosial : Tawuran Antar Pelajar
Tawuran Antar
Pelajar termasuk kedalam Konflik dengan Jenis Konflik Antar Kelompok. Dan
Konflik itu termasuk salah satu Gejala Sosial yang ada di Masyarakat.
|
Negeri ini menghadapi persoalan serius
mengenai Gejala Sosial yang terjadi dalam lingkup Pendidikan. Beberapa
bentrokan antara para pelajar terjadi atas nama kebanggaan identitas dan harga
diri kelompok. Korban fisik tak dapat dielakkan. Kesadaran nasional dan sikap
menghargai semua golongan kini hancur berkeping-keping akibat arogansi dan
kebanggaan yang menguat dalam kelompok-kelompok itu.
Mirisnya, hal ini terjadi pada pelajar.
Generasi bangsa yang dipersiapkan untuk melanjutkan dan melestarikan negeri
ini. Mereka memiliki tingkah laku yang tak ubahnya seperti preman; mudah
terbakar emosi kelompok, bangga dengan kelompok sendiri secara buta dan
cenderung mendefinisikan out-group sebagai “others”. Mereka seperti tidak punya
pilihan lain. Seperti telah kehilangan akal sehatnya, setiap masalah yang
berkaitan dengan kelompok selalu berujug pada pertikaian.
Fenomena tawuran antar pelajar sebenarnya
bukanlah hal yang baru. Peristiwa ini telah terjadi secara berulang kali. Sudah
berapa banyak korban yang meninggal akibat adanya pertikaian antar pelajar ini.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tindakan premanisme merupakan sesuatu yang
melekat dan mengendap di tubuh sebagian pelajar negeri ini.
Anehnya, tidak terlihat tanda-tanda efek jera
pada mereka. Tawuran menjadi semacam ritual untuk mengekspresikan kekuatan dan
kebanggaan kelompok. Identitas dan harga diri kelompok seolah harga mati yang
tidak boleh dilecehkan sedikitpun. Sebaliknya, nyawa tidak ada harganya ketika
berhadapan dengan kebanggaan kelompok itu. Maka dari itu kita kaji Gejala
Sosial tersebut melalui Beberapa pendekatan yang ada dalam sosiologi Hukum.
-
Pendekatan
Teoritis
Pendekatan
yang menganalisis suatu gejala social melalui teori-teori yang ada yang di
kemukakan oleh para pakar atau para pengamat sosiologi mengenai fenomena atau
gejala social masyarakat.
Pada Teori
yang di kemukakan oleh Freud,
kemungkinan pelaku dalam tawuran tak segan membunuh lawannya merupakan wujud
dari insting agresif. Insting ini mendorong manusia menghancurkan manusia lain,
berupa tingkah laku agresif yang mengandung kebencian, ditandai kepuasan yang
diperoleh karena lawan menderita, luka, atau mati, dan yang memberikan kepuasan
dengan melihat lawan gagal mencapai obyek yang diinginkan.
Teori yang mencoba menghubungkan siswa yang
terlibat tawuran berasal dari keluarga yang tak harmonis menjadi mitos yang
salah buktinya Pakar kriminologi Muhammad
Mustapha (1998) dan pakar psikologi Winarini Wilman (1998) menerangkan bahwa
baik siswa yang terlibat maupun tidak mengaku memiliki hubungan dekat dengan orangtuanya.
Pendapat yang menyatakan sekolah berkualitas buruk dan berdisiplin rendah
sering terlibat tawuran juga tak sepenuhnya benar. Dalam kenyataan (contoh
kasus Bulungan), keterlibatan sekolah yang secara akademis tergolong papan atas
dalam tawuran cukup tinggi dan membahayakan dalam arti menimbulkan korban
tewas. Winarini juga melihat tawuran tak ada kaitan dengan tingkat kecerdasan
dan prestasi belajar. Banyak siswa berprestasi juga terlibat. Siswa cerdas
ternyata punya kontribusi dalam mengatur strategi atau evakuasi (penyelamatan)
diri dan teman-temannya.
-
Pendekatan
Normatif/Dogmatis
Mengetahui
dan menganalis gejala social dari Segi Hukum yang berlaku.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tak
dikenal pertanggung jawaban kolektif. Sanksi lebih ditujukan pada individu.
Menjatuhkan sanksi pada kelompok secara merata hampir sangat tak mungkin.
Melihat sifat kolektif tawuran yang begitu rumit dan khas, perlu tindakan yang
bersumber dari peranti hukum pidana berupa sanksi yang adil dan efektif.
Kekerasan kelompok sering kali dicoba diatur
dalam Pasal 170 KUHP. Pasal ini berbunyi,
”Barang
siapa terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap
orang atau barang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan”.
Pasal ini mengandung kendala dan
kontroversial. Subyek ”barang siapa” menunjuk pelaku satu orang. Sementara
istilah ”dengan tenaga bersama” mengindikasikan suatu kelompok manusia. Delik
itu, menurut penjelasannya, tak ditujukan pada kelompok yang tak turut melakukan
kekerasan. Ancaman hanya ditujukan kepada yang benar-benar terbuka dan dengan
tenaga bersama melakukan tawuran. Mengingat suatu kelompok massa, khususnya
pelajar unik sifatnya, delik Pasal 170 sukar diterapkan karena banyak pelaku
tawuran sebenarnya terlibat secara tak sengaja atau hanya ikut-ikutan dalam
kerumunan.
Orientasi perlu lebih ditekankan pada
penegakan isi Pasal 170 dengan mempertimbangkan semua aspek yang saling
memengaruhi. Karena masalahnya bukan pada materi hukumnya, faktor sosiologis, psikologis,
ataupun budaya harus diperhitungkan. Perlu kerja sama aparat penegak hukum,
kepolisian, pendidik (sekolah), dan orangtua (keluarga) untuk menciptakan
penegakan hukum yang adil. Jadi harus dibuktikan apabila unsur-unsur yang
terkandung dalam Pasal 170 KUHP terpenuhi, baru dapat dijerat dengan pasal
tersebut, jangan sampai menimbulkan persepsi lain mengenai pasal tersebut
sehingga tidak adanya keadilan dalam dunia hukum.
Sanksi yang tepat yang dijatuhkan bagi siswa
yang melakukan tawuran antar pelajar adalah berupa muatan agama, psikologis dan
budaya yang bekerjasama dengan pihak orang tua selaku orang terdekat sesorang
dan tenaga pendidik di sekolah agar mengontrol semua kegiatan siswa baik
disekolah maupun di luar sekolah dengan menerapkan kedisiplinan secara tegas.
-
Pendekatan
Empiris
Mengetahui
dan menganalis dari segi kenyataan-kenyataan di Masyarakat.
Dalam Kenyataan di
Masyarakat Tawuran antar
pelajar sudah menjadi tradisi dari dulu bagi
sekolah-sekolah tertentu bahkan tidak
jarang anggota kelompok yang lainnya memancing tawuran dengan alasan
membalaskan dendam anggota kelompoknya. Apabila hal tersebut dikaji
kedalam segi kultural, konflik antar
pelajar remaja ini telah
menjadi suatu adat dari
remaja itu sendiri. Hal ini menciptakan suatu nilai dalam remaja bahwa yang tidak ikut dalam
tawuran adalah remaja yang pengecut. Atas dasar inilah, para remaja menjadi
bersikap militan terhadap kelompoknya sekalipun mereka tidak mengetahui sebab
konflik itu terjadi biasanya factor senior juga berpengaruh ketika
Tawuran pelajar ini terjadi.
Upaya yang dapat dilakukan adalah pihak sekolah
selaku institusi pendidikan harus mampu menciptakan suasana yang nyaman bagi
siswa. Pihak sekolah juga harus berperan serta aktif untuk mengawasi
kegiatan kegiatan yang melibatkan nama sekolah dan siswa didalamnya. Bagaimana
mungkin kita bisa menghapuskan kekerasan di sekolah jika pada awal masa
orientasi masuk sekolah saja siswa baru sudah di pertontonkan dan merasakan
adanya kekerasan fisik dan mental dari kakak-kakak kelasnya.. selain itu pihak sekolah juga harus mampu membuat kegiatan
yang dapat mengisi waktu luang para siswanya. Dunia pendidikan tidak
hanya mengajar kepada pemenuhan aspek-aspek kognitif pelajar, namun juga perlu
diimbangi dengan materi-materi yang berisi penyadaran moral, menyisipkan
beberapa muatan pendidikan agama agar siswa mampu menjaga hubungan dengan antar
manusia.
Selain itu Masyarakat
sering kali memberikan label buruk terhadap mereka yang melakukan tawuran yang
seolah-olah mereka brandalan yang tidak dapat berprestasi. Masyarakat harus
mengubah pemberian cap tersebut sehingga mereka pasca tawuran tidak merasa
terkucilkan atau tersisih. Apabila mereka merasa terkucilkan dengan pemberian
label tersebut pasti mereka akan mengulangi perbatan tersebut (Tawuran Antar
Pelajar).